Selasa, 10 Januari 2012

Kenapa Porsi ISL di Media Lebih Banyak ??

Berbagai macam kejadian mengenai masalah yang berkembang didalam ruang lingkup sepak bola Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir memang banyak menyita perhatian masyarakat Indonesia. Kecintaan terhadap nama bangsa yang disalurkan melalui dukungan terhadap si kulit bundar sudah menjadi sebuah objek tersendiri diberbagai kalangan. Dan salah satunya adalah media. Seperti tak ingin kehilangan momen, hampir seluruh media massa di Indonesia beramai-ramai memberitakan kejadian dari lapangan hijau. Bahkan, telah merambah terhadap gaya hidup pelakon didalamnya.


Wajar, jika hal tersebut memang menjadi bahan buruan para pewarta. Pasalnya, harus diakui ranting sebuah pertandingan sepak bola di jam prime time bisa melonjak tajam dibanding program lainnya. Oleh sebab itu, tak heran jika banyak stasiun televisi di Indonesia yang berlomba untuk memenangkan hak siar si kulit bundar.
Tercatat kini ada dua stasiun televisi nasional yang menayangkan secara terpisah dua liga di Indonesia. Yang pertama adalah “TV A” yang bekerja sama dengan PSSI, pemegang otoritas organisasi sepak bola Indonesia.

Dan yang kedua adalah “TV B” atau biasa disebut pejuang revolusioner dengan sebutan “TV Merah” yang menjalin kerja sama dengan pengelola liga yang sah sesuai aturan statuta. Label liga dari TV A adalah Indonesian Prima League (IPL) atau Liga Prima Indonesia (LPI, upzzz). Dan TV B mendapat hak lebih besar menyiarkan Indonesia Super League (ISL). Bahkan telah menjadi sponsor tunggal di liga yang telah lama berputar tersebut.

Untuk menyegarkan ingatan kita, kenapa harus ada 2 liga yang mengaku sebagai liga profesional? Itu terjadi akibat ketidak becusan orang-orang di PSSI saat ini mengurus keorganisasian, bahkan dinilai hanya ingin menyelamatkan kelompoknya. Maklum, rezim PSSI yang berkuasa saat ini adalah kelompok yang dulunya pernah melakukan sebuah aib terselubung dengan membuat breakaway league bertajuk Liga Primer Indonesia.

Dan kini, kedua liga berjalan hampir bersamaan serta telah memainkan beberapa laga. IPL yang mengaku resmi hanya diikuti 12 klub, plus didalamnya terdapat 1 tim yang berstatus sebagai degradasi terbaik dan 2 tim yang tak lagi tercatat sebagai anggota resmi PSSI. Sedangkan ISL diikuti 18 klub terbaik di Indonesia yang telah sesuai dengan prosedural serta amanat kongres Bali. Dimana, Kongres tahunan PSSI di Bali tahun 2011 dianggap kubu ISL sebagai acuan jelas menjalankan Liga Profesional di Indonesia sesuai statuta.
Namun kini, ada sebuah ketakutan mendalam bagi sang penguasa. Liga yang digadang profesional bebas APBD dan akan menjadi sepakbola indsutri hingga kini kesulitan mencari sponsor. Tercatat hanya televi A tadi saja yang berhasil mereka gaet untuk mendukung IPL. Selebihnya, IPL lebih banyak mengandeng sponsor yang telah ada sejak jaman peninggalan rezim lama.

Begitu pula dengan ISL. Munculnya TV B sebagai sponsor tunggal dengan nominal kontrak yang melebihi angka Rp100 Miliar untuk satu musim menjadikan ISL dipastikan mempunyai daya jual lebih mengiurkan bagi penikmatnya. Tak sedikit masyarakat yang penasaran, seperti apa ISL musim ini? ini jelas menjadi sebuah keuntungan bagi stasiun tv tersebut. Apalagi klub yang berada di ISL adalah kumpulan klub papan atas Indonesia yang memiliki basis pendukung besar dan fanatik. Wajar bila ISL lebih semarak dibanding IPL, liga yang diklaim sebagai awal kejayaan sepak bola industri di Indonesia. Pfffttt!

Pemaparan diatas bukan tanpa bukti, hal itu bisa tergambar dari data AC Nielsen, perusahaan penyedia jasa ranting televisi di Indonesia, yang sudah memiliki pengalaman puluhan tahun ini mencatat ranting pertandingan ISL dibanding IPL jauh sangat berbeda. Sebagai perbandingan, satu buah pertandingan ISL bisa mendapat penilaian paling rendah 1,8/12/1. Di IPL diungkapnya hanya bisa mengumpulkan angka yang depannya berbilangan nol koma hingga tiga atau empat koma sekian.

Kenyataan ini lantas membuat PSSI beserta staf ahli dunia mayanya (Uhuk! sory batuk, soalnya agak alergi dengar staf dunia maya berbayar ini) kelimpungan untuk menyangah. Berbagai spekulasi coba dikembangkan, mulai menyalahkan keberpihakan media besar yang bermain dengan petinggi ISL hingga mengungkit-ungkit asal usul pemilik media tersebut.

Parahnya, tak sedikit pihak yang dulunya bersih dan hanya ingin menyaksikan sepak bola sebagai sebuah hiburan yang perlahan menjadi sebuah kebanggaan dengan prestasi, akhirnya takluk didalam jerami hitam berkedok “Sepakbola Bersih”.

Sebagai orang yang bermasyarakat dan menghargai perbedaan jelas sebuah pemberitaan yang muncul hanya didasari dari pangsa pasar yang berkembang. Dimana banyak peminatnya, sudah pasti porsi lebih banyak akan didapat. Begitu pula dengan ISL, banyaknya peminat dan banyaknya orang yang ingin mengetahui perkembangan terbaru ISL, sudah pasti sebuah media akan menyediakan wadah khusus bagi penikmatnya. Dan cobalah buang paradigma media itu milik ini, media ini milik itu. Jika PSSI cerdas untuk mengurus PSSI, sudah pasti media akan memberi porsi yang layak bagi liga yang kayanya profesional itu.

“Ada gula, ada semut” adalah peribahasa yang layak untuk menguak alasan kenapa media besar di Indonesia, lebih banyak memilih pemberitaan ISL ketimbang IPL. Dan sebagai pendukung yang punya pemikiran cerdas, seharusnya sadar akan hal ini. Buka pemikiran, jangan mau di doktrin dengan isu yang hanya menguntungkan berbagai pihak. Jayalah Indonesia!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar